Kesaksian Nong Darol: ‘Postingan‘ Buni Yani Provokatif dan Buat Gaduh
Nong Darol Mahmada, aktivis kemanusiaan yang kerap membela terpidana kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bercerita soal kesaksiannya di persidangan kasus dugaan pelanggaran Undang-undang Transaksi Elektronik (UU ITE) denga terdakwa Buni Yani.
Nong Darol membeberkan alasan potongan video pidato Ahok saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu, pada September 2016 lalu yang diunggah Buni Yani, dianggapnya provokatif dan menimbulkan rentetan kegaduhan.
"Kita tunggu saja proses pengadilannya. Tapi yang jelas dan sudah terasakan adalah postingan statusnya akhirnya membuat kegaduhan sosial di negeri ini dan menjerumuskan orang baik ke dalam penjara," ujar Nong Darol.
Berikut pernyataan Nong Darol soal unggahan Buni Yani, dikutip dari qureta.com, Rabu (9/8/2017).
Pada persidangan keenam kasus Buni Yani hari Selasa, 25 Juli kemarin, saya menjadi saksi di pengadilan yang digelar di Gedung Arsip Bandung. Oleh Jaksa, Buni Yani didakwa melakukan pelanggaran UU ITE pasal 28 dan pasal 32 tentang ujaran kebencian dan Pemotongan video pidato Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab dipanggil Ahok, di Kepulauan Seribu 27 September 2016.
Saya dihadirkan oleh pihak jaksa sebagai saksi fakta. Kebetulan saya melihat langsung postingan status Facebook Buni Yani karena saya berteman dengannya dan ikut berkomentar status yang sudah viral tersebut.
Sebelumnya saya juga sudah di BAP oleh pihak kepolisan dan juga menjadi saksi ketika Buni Yani mempra-peradilan kasusnya di Pengadilan Jakarta Selatan dan tuntutannya ditolak sehingga dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam keterangan di hadapan Majelis Hakim, saya bilang bahwa saya melihat dan membaca postingan status FB Buni Yani pada tanggal 6 Oktober 2016, 21 jam setelah status tersebut diposting oleh Buni Yani. Saat itu, posisi postingan tersebut sudah dishare dan dilihat oleh puluhan ribu dan diresponi puluhan komentar termasuk saya.
Menurutku, postingan Buni Yani tersebut provokatif. Bukan hanya video yang dipotong dari 1 jam 48 menit menjadi 30 detik tanpa mencantumkan sumber video tersebut atau siapa yang memotongnya, juga kata-katanya. Dari kalimat awal yaitu judul postingan "PENISTAAN TERHADAP AGAMA?" (meski ada tanda tanya), sampai isi yang seperti transkrip video namun banyak kata yang dihilangkan misalnya kata "dipakai" dan akhir kalimat yang kata Buni Yani, 'akan terjadi sesuatu'.
Dalam kesaksian saya di pengadilan, saya melihat video yang diunggah Buni Yani telah dipotong berbeda dengan video yang sudah saya tonton dalam video aslinya yang diunggah di YouTube oleh pihak pemprov DKI. Dalam video asli yang utuh berdurasi 1 jam 48 menit, saya tak melihat adanya penodaan agama seperti yang diungkapkan oleh Buni Yaniseperti yang tertulis di statusnya tersebut.
Nong Darol membeberkan alasan potongan video pidato Ahok saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu, pada September 2016 lalu yang diunggah Buni Yani, dianggapnya provokatif dan menimbulkan rentetan kegaduhan.
"Kita tunggu saja proses pengadilannya. Tapi yang jelas dan sudah terasakan adalah postingan statusnya akhirnya membuat kegaduhan sosial di negeri ini dan menjerumuskan orang baik ke dalam penjara," ujar Nong Darol.
Berikut pernyataan Nong Darol soal unggahan Buni Yani, dikutip dari qureta.com, Rabu (9/8/2017).
Pada persidangan keenam kasus Buni Yani hari Selasa, 25 Juli kemarin, saya menjadi saksi di pengadilan yang digelar di Gedung Arsip Bandung. Oleh Jaksa, Buni Yani didakwa melakukan pelanggaran UU ITE pasal 28 dan pasal 32 tentang ujaran kebencian dan Pemotongan video pidato Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab dipanggil Ahok, di Kepulauan Seribu 27 September 2016.
Saya dihadirkan oleh pihak jaksa sebagai saksi fakta. Kebetulan saya melihat langsung postingan status Facebook Buni Yani karena saya berteman dengannya dan ikut berkomentar status yang sudah viral tersebut.
Sebelumnya saya juga sudah di BAP oleh pihak kepolisan dan juga menjadi saksi ketika Buni Yani mempra-peradilan kasusnya di Pengadilan Jakarta Selatan dan tuntutannya ditolak sehingga dilanjutkan ke pengadilan.
Dalam keterangan di hadapan Majelis Hakim, saya bilang bahwa saya melihat dan membaca postingan status FB Buni Yani pada tanggal 6 Oktober 2016, 21 jam setelah status tersebut diposting oleh Buni Yani. Saat itu, posisi postingan tersebut sudah dishare dan dilihat oleh puluhan ribu dan diresponi puluhan komentar termasuk saya.
Menurutku, postingan Buni Yani tersebut provokatif. Bukan hanya video yang dipotong dari 1 jam 48 menit menjadi 30 detik tanpa mencantumkan sumber video tersebut atau siapa yang memotongnya, juga kata-katanya. Dari kalimat awal yaitu judul postingan "PENISTAAN TERHADAP AGAMA?" (meski ada tanda tanya), sampai isi yang seperti transkrip video namun banyak kata yang dihilangkan misalnya kata "dipakai" dan akhir kalimat yang kata Buni Yani, 'akan terjadi sesuatu'.
Dalam kesaksian saya di pengadilan, saya melihat video yang diunggah Buni Yani telah dipotong berbeda dengan video yang sudah saya tonton dalam video aslinya yang diunggah di YouTube oleh pihak pemprov DKI. Dalam video asli yang utuh berdurasi 1 jam 48 menit, saya tak melihat adanya penodaan agama seperti yang diungkapkan oleh Buni Yaniseperti yang tertulis di statusnya tersebut.
Makanya pada saat itu, saya pun langsung menanggapi dan mencoba menjelaskan latar belakang pernyataan Basuki Tjahaya Purnama bahwa politisasi agama dalam politik Indonesia sering digunakan. Tapi dalam pernyataan Ahok di video tersebut ia membebaskan warganya untuk memilih pemimpin yang terbaik tanpa melihat SARAnya.
Tak hanya itu, saya juga meminta agar Buni Yani menonton videonya secara utuh dan tidak memotongnya seperti itu. Tapi tanggapan Buni Yani malah meminta transkrip versi saya. Jadi ada dialog langsung antara saya dan Buni Yani pada saat itu.
Saya melihat Buni Yani sadar atau sengaja mengunggah statusnya tersebut. Buktinya dia tetap bertahan dengan isi postingannya, meskipun saya sudah mencoba menjelaskan bahwa video aslinya tidak seperti itu.
Sebelumnya video terkait kunjungan kerja Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI ke Kepulauan Seribu diunggah pihak Pemprov DKI ke YouTube dan tidak ada polemik ataupun kericuhan dari warga setempat bahkan mendapat liputan media yang positif.
Di depan Majelis Hakim saya mengakui bahwa ada perasaan khawatir akan terjadi "sesuatu" ketika membaca postingan Buni Yani itu. Dan kekhawatiran saya terbukti. Setelah menyebarnya status FB dan video editan tersebut keesokan harinya situasi sosial mulai beriak. Media massa mulai memberitakan status yang viral itu. Saat itu mulai bermunculan laporan ke polisi terkait penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, lalu terbitnya rekomendasi keagamaan MUI meresponi video editan tersebut dan puncaknya adalah aksi massa serial yang sebenarnya lebih bersifat politis untuk menjegal Basuki Tjahaya Purnama menjadi gubernur.
Inilah yang saya maksud bahwa postingan Buni Yani yang provokatif itu menciptakan rentetan kegaduhan di negeri ini. Namun kesaksian saya ini tidak diterima oleh pembela Buni Yani bahkan disebut memberi kesaksian palsu. Mereka mengancam akan memidanakan saya dan meminta Majelis Hakim untuk menahan saya saat itu juga.
Begitu juga dengan Buni Yani. Ketika merespon kesaksian saya, ia malah mempertanyakan latar belakang pendidikan dan aktivitas saya karena ingin membantah bahwa kesaksian saya itu tidak layak dan palsu. Padahal status saya dihadirkan dalam pengadilan ini bukan sebagai saksi ahli tetapi sebagai saksi fakta.
Selama 2,5 jam saya menjadi saksi di pengadilan ini. Suasana sidang, mengutip teman saya yang berada di posisi pengunjung yang dipenuhi pro Buni Yani, seperti nobar sepak bola karena pengunjung bisa menyoraki dan teriak-teriak untuk menekan atau membuat saya tidak nyaman dan takut. Ketua Majelis Hakim hanya sekali-kali saja mengingatkan agar tenang tapi lebih banyak membiarkannya.
Kita masih menunggu keputusan vonis untuk Buni Yani karena proses pengadilannya masih berjalan. Saya pun tak bermaksud mendahuluinya. Tapi satu hal yang bisa saya pelajari dari kasus ini adalah orang yang mengaku berpendidikan tinggi, dosen komunikasi dan pernah menjadi jurnalis senior pun bisa melakukan tindakan yang sangat ceroboh dengan memposting status yang semestinya tak ia lakukan karena siapapun memposting video atau transkrip (kutipan) yang dipotong atau tak utuh sangatlah tidak etis. Bahkan bisa dipidana. Tapi mungkin juga ia melakukannya dengan sengaja karena kebetulan ada peristiwa politik, ia mengaku sangat paham dengan komunikasi massa yang konon menjadi keahliannya.
Entahlah.. kita tunggu saja proses pengadilannya. Tapi yang jelas dan sudah terasakan adalah postingan statusnya akhirnya membuat kegaduhan sosial di negeri ini dan menjerumuskan orang baik ke dalam penjara.
Tak hanya itu, saya juga meminta agar Buni Yani menonton videonya secara utuh dan tidak memotongnya seperti itu. Tapi tanggapan Buni Yani malah meminta transkrip versi saya. Jadi ada dialog langsung antara saya dan Buni Yani pada saat itu.
Saya melihat Buni Yani sadar atau sengaja mengunggah statusnya tersebut. Buktinya dia tetap bertahan dengan isi postingannya, meskipun saya sudah mencoba menjelaskan bahwa video aslinya tidak seperti itu.
Sebelumnya video terkait kunjungan kerja Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI ke Kepulauan Seribu diunggah pihak Pemprov DKI ke YouTube dan tidak ada polemik ataupun kericuhan dari warga setempat bahkan mendapat liputan media yang positif.
Di depan Majelis Hakim saya mengakui bahwa ada perasaan khawatir akan terjadi "sesuatu" ketika membaca postingan Buni Yani itu. Dan kekhawatiran saya terbukti. Setelah menyebarnya status FB dan video editan tersebut keesokan harinya situasi sosial mulai beriak. Media massa mulai memberitakan status yang viral itu. Saat itu mulai bermunculan laporan ke polisi terkait penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, lalu terbitnya rekomendasi keagamaan MUI meresponi video editan tersebut dan puncaknya adalah aksi massa serial yang sebenarnya lebih bersifat politis untuk menjegal Basuki Tjahaya Purnama menjadi gubernur.
Inilah yang saya maksud bahwa postingan Buni Yani yang provokatif itu menciptakan rentetan kegaduhan di negeri ini. Namun kesaksian saya ini tidak diterima oleh pembela Buni Yani bahkan disebut memberi kesaksian palsu. Mereka mengancam akan memidanakan saya dan meminta Majelis Hakim untuk menahan saya saat itu juga.
Begitu juga dengan Buni Yani. Ketika merespon kesaksian saya, ia malah mempertanyakan latar belakang pendidikan dan aktivitas saya karena ingin membantah bahwa kesaksian saya itu tidak layak dan palsu. Padahal status saya dihadirkan dalam pengadilan ini bukan sebagai saksi ahli tetapi sebagai saksi fakta.
Selama 2,5 jam saya menjadi saksi di pengadilan ini. Suasana sidang, mengutip teman saya yang berada di posisi pengunjung yang dipenuhi pro Buni Yani, seperti nobar sepak bola karena pengunjung bisa menyoraki dan teriak-teriak untuk menekan atau membuat saya tidak nyaman dan takut. Ketua Majelis Hakim hanya sekali-kali saja mengingatkan agar tenang tapi lebih banyak membiarkannya.
Kita masih menunggu keputusan vonis untuk Buni Yani karena proses pengadilannya masih berjalan. Saya pun tak bermaksud mendahuluinya. Tapi satu hal yang bisa saya pelajari dari kasus ini adalah orang yang mengaku berpendidikan tinggi, dosen komunikasi dan pernah menjadi jurnalis senior pun bisa melakukan tindakan yang sangat ceroboh dengan memposting status yang semestinya tak ia lakukan karena siapapun memposting video atau transkrip (kutipan) yang dipotong atau tak utuh sangatlah tidak etis. Bahkan bisa dipidana. Tapi mungkin juga ia melakukannya dengan sengaja karena kebetulan ada peristiwa politik, ia mengaku sangat paham dengan komunikasi massa yang konon menjadi keahliannya.
Entahlah.. kita tunggu saja proses pengadilannya. Tapi yang jelas dan sudah terasakan adalah postingan statusnya akhirnya membuat kegaduhan sosial di negeri ini dan menjerumuskan orang baik ke dalam penjara.
sumber : netralnews
Loading...